Situasi yang Dihadapi
Penetapan kawasan industri di daerah pinggiran yang padat penduduk berpotensi menghasilkan bencana besar. Lumpur panas yang menyembur sejak 29 Mei 2006 di Porong, Sidoarjo, dan masih berlanjut sampai sekarang, adalah salah satu situasi bencana berkelanjutan.
Kombinasi faktor alam (potensi gunung-lumpur di kawasan utara Jawa) dan perbuatan manusia (pengeboran di dekat daerah perumahan) berkontribusi terhadap erupsi lumpur terburuk di dunia karena telah menghilangkan area seluas lebih dari 800 hektar dan mengakibatkan pemindahan-paksa lebih dari 20 ribu keluarga.
Terlepas dari perdebatan tentang penyebab semburan, konsekuensi degradasi lingkungan dan dampaknya pada masyarakat dan kawasan ekologis pendukungnya tidak dapat disangkal. Saat ini, anggota masyarakat masih terus berjuang untuk bertahan tanpa bimbingan dan dukungan yang konsisten dari pemerintah dan korporasi untuk mengurangi dampak lingkungan dan, yang terpenting, memulihkannya.
Fakta tentang peningkatan jumlah penduduk yang mengalami masalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon) di Sidoarjo selatan selama beberapa tahun terakhir disangkal oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Padahal, catatan itu didapatkan dari beberapa puskesmas setempat.
Puskesmas Porong, misalnya, mencatat bahwa pada tahun 2005 ada sejumlah 23.000 pasien yang mengalami ISPA. Pada akhir 2006, jumlah itu meningkat menjadi 32.000 dan terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010, jumlahnya tercatat 58.000 pasien. Tren peningkatan juga terjadi di puskesmas Tanggulangi dan Jabon.
Pada sisi lain, Pemerintah Pusat menerbitkan sejumlah Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatasi masalah ini. Perpres ini terus direvisi secara berkala, karena semburan lumpur terus menyebar dan berpengaruh pada wilayah-wilayah lain di pusat semburan. Kebijakan tersebut hanya membahas dampak fisik dari bencana yaitu kerusakan tanah dan bangunan. Alih-alih berorientasi pada rehabilitasi dan pemenuhan hak-hak dasar korban, skema penyelesaian yang ditawarkan Pemerintah sejauh ini tak lebih dari sekadar model yang berorientasi bisnis, yaitu transaksi jual-beli tanah dan bangunan milik korban.
Hingga kini, belum terlihat adanya lembaga pemerintah dan perusahaan yang berupaya maksimal untuk menawarkan program-program alternatif bagi pemulihan sosial-ekologis. Dampak pemindahan-paksa memengaruhi pelbagai dimensi kehidupan korban dan anak-anak mereka, termasuk kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya.
PoskoKKLuLa hadir di lapangan sejak awal letusan untuk mendukung dan membimbing anggota masyarakat yang rentan melalui berbagai program advokasi, rehabilitasi dan adaptasi. Selama beberapa tahun terakhir, PoskoKKLula bekerja sama dengan JANNI (didukung pendanaan dari ERCA, Jepang) telah berusaha meningkatkan kapasitas warga untuk memantau pencemaran lingkungan, khususnya terkait kualitas udara dan air dengan mengembangkan pemantauan kualitas lingkungan dan kesehatan berbasis masyarakat. Upaya pemantauan mandiri tersebut memadukan survei, pemantauan mandiri oleh warga menggunakan teknologi sederhana, dan pemeriksaan dan konsultasi medis secara rutin. Melalui JANNI, ERCA telah mendukung masyarakat untuk memiliki kapasitas untuk memantau semburan lumpur ke udara.
Banyak temuan penelitian tentang jenis dan jumlah logam berat tidak diakui, apalagi ditangani pihak berwenang. Padahal logam berat berpotensi menyebabkan penyakit serius pada jangka panjang. Yang paling memprihatinkan adalah temuan terbaru melalui Riset Berbasis Masyarakat dalam kemitraan peneliti WALHI dan Universitas Brawijaya yang menemukan peningkatan kadar logam berat, terutama Timbal dan Cadmium, yang mencemari sumber mata pencaharian lokal dan produk makanan seperti ikan, udang, dan rumput laut.
Sayangnya, lembaga pemerintah untuk mengelola lumpur tersebut (BPLS, kemudian PPLS) hanya bekerja sebatas mengarahkan aliran lumpur ke sungai Porong yang terus menyebarkan endapan lumpur ke Selat Madura dan laut. Hal ini menambah kerumitan penanganan melihat fakta bahwa air sungai digunakan untuk irigasi ladang dan sebagai persediaan air tawar untuk kolam ikan.
Selama bertahun-tahun, masalah lingkungan ini tidak terselesaikan dan masyarakat tinggal di daerah yang terkontaminasi tanpa pengetahuan dan akses informasi tentang kondisi lingkungan dan sumber penghidupan yang tepat. Ketiadaan pengetahuan dan informasi membuat mereka tetap menggunakan ladang pertanian dan kolam ikan di area produksi yang bisa jadi telah terkontaminasi denga logam berat.